Pembelajaran Hukum Sejak Dini dalam Suasana Kelas yang Interaktif dan Humanis

Senin, 23 Juni 2025 08:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pembelajaran Hukum Sejak Dini dalam Suasana Kelas yang Interaktif dan Humanis
Iklan

Seorang guru mengenalkan konsep keadilan kepada siswa dengan timbangan hukum di kelas.

Dari LSTEAM ke Novum Gradum: Menata Ulang Pendidikan Hukum untuk Indonesia yang Sadar Hukum.

Apa itu LSTEAM? Dan bagaimana istilah novum gradum bisa menjadi pemantik arah baru pendidikan di Indonesia? Apakah ini sekadar jargon baru dalam dunia akademik, atau justru sebuah jawaban atas krisis budaya hukum yang kita alami hari ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul setelah pada Jumat, 23 Mei 2025, dalam Majelis Dzikir Jumat di Masjid Rahmaan Lil ‘Alamin, Ma’had Al-Zaytun, Syaykh AS Panji Gumilang melontarkan sebuah gagasan visioner nan transformatif: pentingnya pendidikan hukum sejak usia dini. Dalam pandangannya, pembangunan budaya hukum di Indonesia tidak akan pernah berhasil jika hukum terus diposisikan sebagai pengetahuan elit yang hanya diajarkan di bangku perguruan tinggi.

“Indonesia adalah negara hukum, tapi tidak ada pendidikan hukum dalam pendidikan formal,” ujar Syaykh dengan tegas. Bagi sebagian orang, ini hanyalah kritik. Namun bagi mereka yang peduli pada arah masa depan bangsa, ini adalah panggilan.

Gagasan ini bukan hanya kritik terhadap sistem, tapi tawaran konkret untuk perubahan. Sebuah lonceng peringatan sekaligus undangan untuk melangkah ke jenjang baru pendidikan nasional—yang disebut oleh Syaykh sebagai novum gradum.

Sebuah Paradoks: Negara Hukum Tanpa Pendidikan Hukum

Selama ini, pendidikan hukum hanya menyentuh segelintir orang—mereka yang masuk Fakultas Hukum di perguruan tinggi. Sementara itu, mayoritas rakyat, termasuk pejabat publik, tumbuh tanpa pemahaman mendasar tentang hukum sebagai norma yang mengatur hidup bersama.

Tak heran bila pelanggaran hukum kerap dianggap biasa. Ketika norma dilanggar tapi tidak ditegakkan, ia perlahan berubah menjadi budaya. Bahkan lebih menyesakkan lagi, saat aparat penegak hukum pun bisa ‘dipinjam’ oleh kepentingan.

Di tengah ironi ini, Syaykh Al-Zaytun menawarkan jalan keluar yang sederhana, tapi revolusioner: mulailah dari pendidikan.

LSTEAM dan Lahirnya Tahapan Baru: Novum Gradum

LSTEAM, yang merupakan pengembangan dari STEM dan STEAM, telah menjadi platform inovasi pendidikan berbasis integrasi nilai-nilai spiritual, teknologi, dan budaya. Namun kini, saatnya ditambahkan satu unsur krusial: Law, hukum. Inilah yang dimaknai sebagai novum gradum—sebuah tahapan baru dalam paradigma pendidikan.

Menurut Syaykh, pendidikan hukum bukan sekadar tambahan kurikulum, melainkan basis karakter dan kecerdasan sosial bangsa. Pendidikan yang tak hanya mengajarkan apa yang benar, tapi juga mengapa harus benar, serta apa akibat jika dilanggar.

Etika atau Hukum: Mana yang Lebih Dulu?

Di ranah wacana publik, sering terdengar adagium bahwa etika berada di atas hukum. Namun dalam praktiknya, etika—yang lahir dari kesadaran batin—tak punya daya paksa. Sebaliknya, hukum, meski terkadang kaku, punya mekanisme untuk menegakkan keadilan.

Lihatlah Singapura. Kebersihan dan keteraturan di sana bukan semata hasil pendidikan etika, melainkan karena penegakan hukum yang konsisten. Maka jika Indonesia ingin membangun budaya hukum, tidak cukup mengandalkan etika. Hukum harus diajarkan, ditegakkan, dan dipraktikkan sejak dini.

Membangun Kurikulum Hukum dari PAUD hingga SMA

Gagasan Syaykh Al-Zaytun melangkah jauh hingga pada desain kurikulum konkret. Di tingkat PAUD, anak-anak bisa dikenalkan pada aturan sederhana: tertib antre, tidak menyakiti teman, menjaga barang bersama. Di SD, mereka mulai memahami norma hukum dasar, seperti aturan lalu lintas atau peraturan kelas.

SMP dan SMA menjadi tahap krusial untuk memperkenalkan sistem hukum nasional. Peserta didik bisa belajar tentang proses peradilan melalui simulasi: menjadi pelapor, penyidik, jaksa, hingga hakim. Mereka diajak memahami bahwa tindakan seperti perundungan (bullying) atau ujaran kebencian tidak hanya melanggar etika, tetapi juga melanggar hukum.

Di era digital, UU ITE menjadi penting dikenalkan. Anak-anak perlu tahu bahwa hate speech, pencemaran nama baik, dan penyebaran hoaks memiliki konsekuensi hukum nyata. Pendidikan hukum di sini bukan mencetak “pengacara cilik”, melainkan membentuk warga negara sadar hukum.

Membangun Budaya Hukum: Bukan Sekadar Struktur, Tapi Kebiasaan

Dalam kerangka pemikiran Lawrence Friedman, hukum berdiri di atas tiga pilar: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Indonesia sudah memiliki lembaga dan peraturan yang cukup. Namun krisis terbesar kita terletak pada budaya hukum—cara kita memandang dan menjalankan hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Hukum akan terus menjadi simbol tanpa makna jika masyarakat dan aparat tidak memiliki integritas. Karena itu, pendidikan hukum sejak dini adalah satu-satunya jalan membangun budaya hukum dari akar.

Penutup: Saatnya Memulai

Gagasan ini mungkin terdengar besar. Tapi bukankah semua perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil? Jika ingin Indonesia yang adil, tertib, dan beradab, maka mari kita mulai dari hal paling mendasar: mendidik anak-anak kita mengenal hukum—bukan untuk menakuti, tetapi untuk membimbing mereka menjadi warga negara yang bijak dan bertanggung jawab.

Karena sebagaimana hukum menuntun keadilan, pendidikanlah yang menuntun kesadaran. Dan saat keduanya menyatu, Indonesia tak hanya menjadi negara hukum, tapi juga bangsa yang berbudaya hukum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler